Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan,
masyarakat tak boleh menunda pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Ini karena potensi PLTS melimpah.
Pada masa mendatang, dunia pasti bakal beralih ke energi bersih yang
ramah lingkungan. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, Indonesia terbukti
kaya energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 MW. Dari jumlah itu,
50 persen atau 200.000 MW adalah energi surya.
Namun, menurut Dadan, pemanfaatan energi surya baru 150 MW atau 0,08
persen dari potensinya. “Sudah menjadi budaya global, dunia bergerak cepat
mengurangi energi fosil dan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan,”
kata Dadan, di Jakarta, Kamis (2/9/2021), seperti dilansir laman resmi
kementerian.
Dadan menyatakan, tuntutan green product yang dihasilkan oleh green
industry meningkat. “Bahkan, menjadi keharusan jika tidak ingin produknya
dikenakan carbon border tax di tingkat global,” kata Dadan.
Pembiayaan energi fosil semakin diperketat. Di sisi lain, pengembangan
energi terbarukan makin pesat dan harganya makin murah, terutama PLTS.
Kementerian ESDM menargetkan kapasitas PLTS atap mencapai 3.600 MW pada
2025 dengan merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang
Penggunaan PLTS Atap. Peraturan ini akan mendorong pemasangan PLTS atap oleh masyarakat.
Sejumlah stimulus bagi rakyat yang ingin memasang PLTS atap antara lain
ketentuan ekspor listrik ke PT PLN
(Persero) ditingkatkan dari 65 persen menjadi 100 persen. Jangka waktu
kelebihan listrik masyarakat di PLN diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam
bulan dan waktu permohonan PLTS atap dipersingkat menjadi 5-12 hari.
Dalam merevisi Permen PLTS atap, menurut Dadan, Kementerian ESDM telah mempertimbangkan semua aspek yang menjadi perhatian masyarakat dan juga PLN sebagai BUMN yang ditugaskan menyediakan listrik masyarakat secara seimbang. Dia pun meluruskan sejumlah isu terkait implementasi PLTS atap tersebut. Pertama, bisnis PLN tidak dirugikan akibat ekspor listrik dari masyarakat. PLTS atap hanya berpotensi mengurangi sedikit penerimaan PLN karena masyarakat bisa melistriki sendiri.
Dadan menuturkan, target 3.600 MW itu pun dilakukan secara bertahap.
Dengan demikian, tidak signifikan mengurangi penerimaan PLN, terlebih sampai
menyebabkan cashflow PLN merugi.
Pemerintah terus mendorong creating demand untuk PLN seperti kawasan
industri baru, smelter, kompor listrik, dan kendaraan listrik. Pengembangan
PLTS atap juga akan mengurangi biaya bahan bakar per unit kWh sebesar Rp7,42
kWh dengan total nilai gas yang dihemat Rp4,12 triliun per tahun.
“Kebijakan PLTS atap ini juga berpihak
kepada masyarakat luas, karena mengoptimalkan penghematan tagihan listrik
bulanan dengan kapasitas terpasang sesuai daya langganan,” ujar Dadan.
Isu kedua, menurut Dadan, PLTS atap tidak akan menyebabkan pelanggan
berburu keuntungan bisnis. “Motif tersebut akan sulit terjadi karena kapasitas
PLTS atap dibatasi paling tinggi 100 persen dari kapasitas listrik pelanggan,
sehingga tidak ada unsur berburu keuntungan. Pemasangannya juga hanya bisa di
atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan dan tidak dibolehkan di lahan
terbuka (ground mounted),” jelasnya.
Yang ketiga, selain tidak berdampak ke cashflow PLN, PLTS atap juga tidak menambah beban subsidi listrik dan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN. Hasil perhitungan Kementerian ESDM dengan ekspor PLTS atap sebesar 100 persen untuk menggantikan gas menunjukkan BPP naik Rp1,14/kWh (0,08 persen), subsidi naik Rp 0,079 triliun (0,15 persen), dan kompensasi naik Rp 0,24 triliun (1,04 persen) dibandingkan ekspor 65 persen.
Meskipun dalam perhitungan tersebut total subsidi pemerintah Rp 54,15
triliun, pemerintah hanya membayar Rp 53,92 triliun. Ini terjadi karena adanya
pengurangan energi listrik yang dikonsumsi pelanggan PLTS atap, dengan nilai
penghematan Rp 0,23 triliun.
Keempat, PLTS atap tidak berdampak pada kestabilan sistem kelistrikan
karena Kementerian ESDM akan memperhatikan kurva beban (duck curve) dan pola
operasi yang dilakukan PLN. Kelima, PLTS atap tidak semakin menyebabkan
oversupply listrik dan mengakibatkan konsekuensi take or pay bagi PLN akibat
potensi pasar listriknya berkurang.
“Apabila dibandingkan dengan perkiraan penjualan listrik PLN yang pada
2021 sekitar 261 TWh, maka potensi berkurangnya penjualan PLN adalah 0,1 persen
saja. Di sisi lain, PLN dapat melakukan upaya demand creation mengingat masih
besarnya market listrik ke depan,” ujarnya.
Komentar
Posting Komentar